Allah……
Semoga aku ingin lebih menghibur daripada dihibur ….
Memahami daripada dipahami….
Mencintai daripada dicintai….
Sebab….
Dengan memberi aku menerima….
Dengan memaafkan aku dimaafkan….
Dengan cinta aku bangkit kembali….
Dan ….
Dengan cinta aku hidup abadi….
(Menanti fajar kesadarn-Iip Wijayanto 2000)
Setiap kali melihat puisi itu, puisi yang tak sengaja kutemukan bersama tumpukan buku dilemari madz saat BBM ( bersih- bersih Mushallah Adz-dzarrah) 4 bulan yang lalu. Ada rasa yang menyesakkan dada. Ada yang mengalir hangat dipipi setiap mengingat peristiwa yang terjadi. Seperti sebuah film yang terekam dan diputar ulang. Ada haru, ada tawa, ada kesedihan, ada tangis, ada berbagai peristiwa yang tersimpan dengan sempurna dalam memory dan diberi titel “ KENANGAN”.
TApi, apakah semua kenangan selalu berakhir dengan manis???? Atau malah diakhiri dengan kepiluan????
Manusia ada kalanya mengalami kesedihan – kesedihan yang mendalam. Seakan –akan luka tak mau berhenti mengering, perih dan sakit. Disaat itulah biasanya kita membutuhkan seseorang di sekitar kita. Menghibur kita, siap memberikan bahu untuk kita bersandar, memberikan senyum penuh cinta untuk kita, serta memeluk kita dengan penuh kehangatan agar berkurang beban dijiwa. Sudahkah kita mendapatkannya???? Jika belum…. Cobalah untuk berkaca sejenak. Apakah sudah sedemikian sering kita memperlakukan hal yang sama kepada saudara kita??? Kita menghiburnya dikala dia sedih, menghapus air matanya disaat dia menangis, ikut merasakan kesenangannya diwaktu dia gembira, menjenguknya di saat kesehatannya menurun, menguatkannya diwaktu dia lemah.
Sudahkah kita melakukan itu semua????
Apakah kita mengetahui suasana hatinya sekarang..
Apakah kita mengetahui keadaan ruhiyahnya saat ini….
Apakah kita mengetahui hal-hal yang disembunyikan olehnya dari diri kita???
Jika belum…
Dimana kita saat dia menangis ???
Dimana kita saat dia merasa kedinginan atau kepanasan????
Apakah kita datang kepada saudara kita hanya karena kita membutuhkannya saja??
Setelah keperluan terpenuhi, kitapun meninggalkannya…lantas dimana hati kita???
Apakah kita mengetahui keadaannya setelah itu??..
Y Rabb, tangan ini tak mampu lagi menyusun huruf menjadi sebuah kata bahkan kalimat sungguh tak sanggup…
Y Rabb, malu rasanya diri ini menulis sesuatu yang masih hamba pelajari, pertanyaan2 itu terlalu menusuk, membekukan seluruh darah hingga tak ku rasakan Ia mengalir…teringat seseorang sahabat dulu mengadu :
“Ana sudah tak punya harapan lagi terhadap saudara2 ana… ana sudah tak peduli dengan sikap tidak peduli mereka…. Ana berhusnudzon kalau mereka punya amanah yang banyak …tidak mengapa…cukuplah Allah memperhatikan ana…itu lebih dari cukup.”
Pernahkah kalian mendapatkan kalimat yang sama??? Kalimat spontan yang keluar dari lisan saudara kita. Diwaktu dia membutuhkan kehadiran kita walaupun hanya senyum tulus. Sanggupkah kita menyempatkan waktu disela- sela kesibukkan. Masih tegakah kita jika kalimat tersebut keluar lagi dari lisan saudara seiman???
Bukankah rasulullah bersabda” tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri(HR. bukhari – Muslim)
Sekarang, mari kita coba bertanya pada diri kita sendiri , sudahkah kita mencintai saudara kita dan itu bukan sekedar kata? Wallahu alam..
Moga bisa menjadi pembelajaran untuk ana dan banyak orang lain.